c16 - erlan- studi teknologi pencairan bb-ok2
TRANSCRIPT
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
522
BATAN
ISSN 1979-1208
STUDI TEKNOLOGI PENCAIRAN BATUBARA
MENGGUNAKAN PANAS NUKLIR UNTUK PROVINSI
KALTIM
Erlan Dewita, Siti Alimah
Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) BATAN
Jl. Abdul Rohim Kuningan Barat, Mampang Prapatan
Jakarta 12710 Telp./Faks. (021)5204243, Email: [email protected]
ABSTRAK STUDI TEKNOLOGI PENCAIRAN BATUBARA MENGGUNAKAN PANAS NUKLIR
UNTUK PROVINSI KALTIM. Peningkatan penggunaan batubara akan meningkatkan emisi SO2,
NOx dan CO2. Karena itu, perlu adanya penggunaan teknologi bersih diantaranya pencairan
batubara. Proses pencairan batubara dilakukan dengan menaikkan rasio hidrogen dan karbon (H/C
~0,8) agar menyamai H/C untuk gasolin dan diesel dengan H/C ~ 2 dan minyak tanah dengan H/C
1,3 1,9. Terdapat dua proses pencairan batubara, yaitu pencairan langsung (DCL) dan tak
langsung (ICL)). Kebutuhan panas untuk pencairan ( 400-9500C) dapat dipasok dari panas nuklir
(PLTN) dengan cara kopling dengan instalasi pencairan batubara (kogenerasi), sehingga dihasilkan
listrik dan batubara cair secara simultan. PLTN jenis HTGR dengan suhu pendingin keluar ~ 9000C
dipandang cocok untuk tujuan tersebut. Hasil studi menunjukkan teknologi DCL menghasilkan
gasolin dengan angka oktan tinggi dan diesel dengan angka cetan rendah, sedangkan teknologi ICL
menghasilkan diesel dengan angka cetan tinggi dan gasolin dengan angka oktan rendah. Perbedaan
lain adalah densitas produk DCL lebih tinggi yaitu naphta (0,76) dan diesel (0,87), sedangkan produk
ICL adalah naphta (0,67) dan diesel (0,78), karena itu produk teknologi DCL menghasilkan Btu per
galon lebih besar dibanding produk teknologi ICL. Namun, teknologi ICL lebih sesuai untuk produksi
lebih dari 1 jenis bahan bakar, bahan kimia dan listrik dibanding dengan teknologi DCL.
Kata kunci : Pencairan batubara, PLTN, reaktor gas suhu tinggi (HTGR), karbon, hidrogen
ABSTRACT STUDY OF COAL LIQUEFACTION TECHNOLOGY USING NUCLEAR HEAT FOR
KALTIM PROVINCE. The increase of coal utilization will increasing SO2, NOx and CO2 emission.
Therefore, it is needed the clean technology likes coal liquefaction. The coal liquefaction process is
conducted by increasing the hidrogen to carbon ratio (H/C ~0,8) in order to same with H/C for
gasoline and diesel ~ 2 and kerosine with H/C 1,3 1,9. There are two coal liquefaction process, that
are direct coal liquefaction (DCL) and Indirect coal liquefaction (ICL). The heat for coal liquefaction (
400-9500C) can be supplied by nuclear heat (NPP) through coupling with coal liquefaction
installation (cogeneration), so it is simultaneously produced electricitity and liquid coal. The HTGR
type NPP with ~ 9000C output coolant temperatur is considered suitable for that purpose. The result
of study showed that DCL technology produced high octane number of gasoline and low cetane
number of diesel, that is naphta (0,76) and diesel (0,87), while ICL technology produced high cetane
number of diesel and low octane number of gasoline. The another difference are density of DCL
product higher than density of ICL product, that is naphta (0,76) and diesel (0,87), while naphta
(0,67) and diesel (0,78) for ICL product, therefore DCL product will produce higher Btu/ gal than
ICL product. However, ICL technology more suitable for producing more than one fuel type, chemical
and electricity compare to DCL technology.
Keywords : coal liquefaction, NPP, HTGR, carbon, hydrogen
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
523
BATAN
ISSN 1979-1208
1. PENDAHULUAN Kebijakan pemerintah berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan energi nasional
dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006. Dalam peraturan disebutkan
bahwa pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20%, gas alam
naik menjadi 30%, batubara naik menjadi 33%, sedangkan energi baru dan terbarukan naik
menjadi 17%. Sehubungan dengan rencana peningkatan batubara dalam pemenuhan
kebutuhan energi nasional, sekaligus untuk memenuhi permintaan percepatan
pembangunan PLTU batubara 10.000 MW yang saat ini direncanakan untuk mengatasi
peningkatan kebutuhan listrik, maka dibutuhkan batubara dalam jumlah besar. Hal ini
bukan merupakan suatu kendala bagi Indonesia, sebab dari segi kuantitas, batubara
termasuk cadangan energi fosil terbesar. Sebagai gambaran cadangan sumber daya
batubara di Indonesia ditaksir berjumlah 57,8 milyar ton dan 51% dari cadangan tersebut
(29,7 milyar ton) berada di Kalimantan yang menyebar terutama di Kalimantan Timur dan
Selatan, dan hanya sebagian kecil di Kalimantan Barat. Jumlah ini diperkirakan cukup untuk
memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan.
Namun demikian, perlu diperhitungkan masalah yang muncul akibat meningkatnya
penggunaan batubara, yaitu efeknya terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan batubara
merupakan bahan bakar fosil padat dengan kandungan karbon tinggi tetapi kandungan
hidrogen rendah (~ 5%), disamping itu mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam jumlah
besar sehingga gas buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2, NOx dan
CO2 yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan. Selain dampaknya
terhadap lingkungan, permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud
batubara yang berupa zat padat sehingga kurang fleksibel dalam pemanfaatannya. Karena
itu perlu adanya penggunaan teknologi bersih seperti pencairan batubara dengan keluaran
yang hampir sama dengan minyak bumi. sehingga dihasilkan bahan bakar alternatif untuk
menggantikan minyak bumi yang jumlah cadangannya semakin menipis. Pencairan
batubara merupakan proses konversi yang dirancang untuk memproduksi cairan organik
sintetis. Konversi dicapai dengan menurunkan level impuritas (pengotor) dan menaikkan
rasio hidrogen dan karbon dalam batubara (H/C ~ 0,8), sehingga menyamai rasio hidrogen
dan karbon untuk gasolin dan minyak diesel (H/C ~ 2) serta minyak tanah (H/C ~ 1,3 1,9),
yaitu dengan cara menambahkan hidrogen atau menghilangkan sebagian karbon yang ada
dalam batubara.
Proses pencairan batubara sudah dilakukan oleh beberapa negara maju seperti :
Amerika, UK, Jerman dan Afrika. Pada dasarnya terdapat 2 proses pencairan batubara yang
umum digunakan, yaitu pencairan batubara langsung dan tak langsung yang masing-
masing mempunyai produk dengan spesifikasi yang berbeda. Proses pencairan batubara
langsung terjadi pada suhu 400C dan tekanan 70 MPa, sedangkan untuk proses pencairan
batubara tak langsung terjadi pada suhu 447-567C dan tekanan 10 13 MPa (FT sintesis).
Proses pencairan batubara memerlukan energi. Energi tersebut dapat disediakan oleh
semua bentuk energi penghasil listrik, baik panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga
air, maupun nuklir. Hingga saat ini, pencairan batubara masih diproduksi menggunakan
panas dari bahan bakar fosil yang dapat mengemisi gas-gas rumah kaca. Reaktor
Temperatur Tinggi berpendingin gas helium (HTGR) dengan temperatur pendingin keluar
reaktor tinggi (900~1000oC) dan bermoderator grafit merupakan jenis reaktor yang dapat
mengatasi masalah polusi gas rumah kaca dan dapat digunakan untuk tujuan kogenerasi,
yaitu selain digunakan sebagai pembangkit listrik, juga sebagai sumber panas untuk aplikasi
non-listrik seperti proses pencairan batubara. Pada kogenerasi dibutuhkan kopling yang
merupakan interface antara PLTN dengan instalasi pencairan batubara. Studi ini membahas
teknologi pencairan batubara langsung dan tak langsung dan membandingkan produk
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
524
BATAN
ISSN 1979-1208
yang dihasilkan dari teknologi tersebut. Hasil studi diharapkan dapat memberi masukan
sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam mengatasi menipisnya
cadangan minyak bumi, sekaligus mengatasi polusi lingkungan di Kaltim dengan
memanfaatkan batubara yang ada di propinsi tersebut.
2. PENCAIRAN BATUBARA MENGGUNAKAN PANAS NUKLIR 2.1. Kondisi Cadangan Batubara di Indonesia
Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di pulau
Kalimantan dan Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun
dalam jumlah kecil, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi. Pada tahun
2005, cadangan sumber daya batubara di Indonesia ditaksir berjumlah 57,8 milyar ton dan
51% dari cadangan tersebut (29,7 milyar ton) berada di Kalimantan. Dari sekitar 29,7 milyar
ton tersebut, 9,7 milyar ton diklasifikasikan sebagai cadangan terunjuk, dan 4,2 milyar ton
merupakan cadangan terbukti. Cadangan batubara Kalimantan menyebar terutama di
Kalimantan Timur dan Selatan, dan hanya sebagian kecil di Kalimantan Barat. Kalimantan
juga merupakan pusat produksi batubara Indonesia, yang menghasilkan lebih dari 90%
produksi batubara di Tanah Air. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, produksi
batubara terbesar berada di Kalimantan Timur. Produksi batubara di Kaltim terus
mengalami peningkatan, dengan peningkatan laju produksi rata-rata 15% per tahun. Pada
tahun 2003, produksi batubara tercatat sebesar 58.764.853,87 ton dan pada tahun 2004
mencapai 69.657.689 ton. Sedangkan tahun 2005 mencapai 81.517.819,59 ton dan tahun 2006
mencapai 86.699.226,64 ton [1].
Gambar 1. Produksi Batubara Indonesia berdasarkan Propinsi Asal (2004)[1]
Kondisi cadangan batubara Indonesia mayoritas berupa lignite yang mencapai 59%,
diikuti sub-bituminous (27%), dan bituminous (14%). Anthracite, batubara terbaik, hanya
berjumlah kurang dari 0.5% dari total cadangan. Batubara dengan kualitas rendah disebut
batubara muda (brown coal lignite) ditandai dengan kadar air yang tinggi sehingga memiliki
nilai bakar hanya sekitar 5,000 kcal/kg atau kurang. Sedangkan Kalimantan Timur dan
Selatan memiliki kandungan batubara bermutu tinggi dengan kandungan panas tinggi dan
kadar belerang dan abu yang rendah. Sekitar sepertiga dari batubara Kalimantan memiliki
kategori kandungan panas tinggi (lebih dari 6.100 kkal/kg), sedangkan sekitar 45%
berkategori kandungan panas sedang (5.100 6.100 kkal/kg). Walaupun cadangan batubara
melimpah, penggunaannya masih sangat sedikit. Dilihat dari rasio cadangan dibagi
produksi (R/P Ratio) batubara masih mampu digunakan selama lebih dari 500 tahun.
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
525
BATAN
ISSN 1979-1208
Sedangkan gas alam dan minyak bumi masing-masing 43 tahun dan 16 tahun. Melihat
volume cadangan ini, batubara diperkirakan akan mempunyai peran yang lebih besar
sebagai penyedia energi nasional.
2.2. Proses Pencairan Batubara
Pada dasarnya, komponen utama dari batubara dan bahan bakar cair adalah karbon
dan hidrogen, namun keduanya memiliki rasio hidrogen dan karbon yang berbeda. Seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2, rasio hidrogen dan karbon batubara (H/C) adalah sekitar
0,8 (basis molar), sedangkan untuk bahan bakar cair seperti gasolin dan diesel sekitar 2,0.
Ukuran molekul batubara lebih besar dari 1000, sedangkan bahan bakar cair hanya sekitar
200. Teknologi pencairan batubara merupakan proses kimia yang mengkonversi batubara
padat menjadi bahan bakar cair.
Gambar 2. Rasio Hidrogen dan Karbon dari Berbagai Bahan Bakar Karbon [2]
Pencairan dilakukan dengan memecahkan molekul batubara menjadi ukuran yang lebih
kecil dan menambahkan hidrogen (H) atau mengurangi carbon (C) dalam batubara. Pada
prinsipnya ada 2 jenis skema pencairan batubara, yaitu pencairan batubara langsung dan
tidak langsung. Proses pencairan langsung merupakan dekomposisi batubara dan
penambahan hidrogen secara langsung ke batubara. Sedang pencairan batubara tak
langsung merupakan proses gasifikasi batubara menjadi gas karbon monoksida dan
hidrogen, kemudian dilakukan proses hidrogenasi karbon monoksida menjadi bahan bakar
cair. Pada kedua proses batubara digiling terlebih dahulu menjadi partikel-partikel kecil
agar reaksi lebih sempurna, dan reaksi dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi
menggunakan katalis.
Pencairan batubara langsung (Direct Coal Liquefaction, DCL)
Teknologi pencairan langsung digunakan untuk membuat minyak mentah sintetis
dari batubara, yang kemudian di proses lebih lanjut menjadi gasolin sintetis, diesel dan LPG
(produk bahan bakar hidrokarbon yang sama dengan derivat bahan bakar hidrokarbon dari
minyak mentah petroleum). Proses ini hanya digunakan untuk batubara bituminous dan
sub-bituminous. Pertama, batubara dibuat dalam bentuk serbuk (powder), kemudian
dilakukan pencairan dalam reaktor dengan menambahkan gas hidrogen. Selanjutnya
dilakukan pemisahan produk dengan fraksinasi. Diesel yang tercampur naphta dialirkan ke
unit hidrotreating, sehingga sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan (terutama terkait
dengan cetane number dan spesifik gravity). Hidrogen yang diperlukan pada proses pencairan
langsung ini dihasilkan oleh unit gasifikasi batubara atau diproduksi dari gas alam melalui
proses steam reforming, tergantung pada ketersediaan dan biaya bahan baku. Sejumlah H2
yang diperlukan untuk batubara bituminous (CH0,81O0,08S0,02N0,01) dapat diperkirakan sebagai
berikut :[3]
Rasio Mol Hidrogen/ Karbon
produk
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
526
BATAN
ISSN 1979-1208
CH0,81 + 0,395H2 ----> CH1,6
0,04O2 + 0,08H2 ----> 0,08H2O
0,02S + 0,02 H2 ----> 0,02 H2S
0,05N2 + 0,015H2 ----> 0,01NH3
Gambar 3. memperlihatkan diagram alir proses pencairan batubara langsung.
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pencairan Batubara Langsung[4]
Pencairan batubara tak langsung (Indirect Coal Liquefaction, ICL)
Pencairan batubara tak langsung merupakan proses untuk memproduksi bahan bakar
cair melalui beberapa tahap. Proses ini cocok tidak hanya untuk batubara bituminous dan
sub-bituminous, tapi juga batubara muda seperti lignite. Setelah tahap penyiapan, batubara
dikonversi menjadi syngas dengan proses gasifikasi menggunakan oksigen murni untuk
oksidasi parsial karbon. Syngas merupakan campuran gas yang mengandung hidrogen (H2),
karbon monoksida (CO), air dan uap dengan jumlah yang bervariasi, karbon dioksida dan
senyawa pengotor yang ada dalam batubara. Ratio H2/CO untuk gas ini adalah 0,5-0,8,
selanjutnya ratio H2/CO diatur sampai harga yang diperlukan untuk reaktor Fischer-
Tropsch (biasanya H2/CO = 2), kemudian semua pengotor dan karbon dioksida dihilangkan.
Produk yang diperoleh dalam reaktor kemudian dialirkan ke tahap isomerisasi atau proses
dingin hidrocracking isomerisasi (HDI) dengan penambahan gas hidrogen (H2), sehingga
dihasilkan produk sesuai spesifikasi. Komponen-komponen yang tidak diinginkan, seperti :
senyawa-senyawa yang mengandung sulfur dan nitrogen serta abu terbang dapat
dipindahkan dari syngas dengan menggunakan proses pemurnian gas. Gambar 4.
memperlihatkan diagram alir proses pencairan batubara tak langsung. Tahapan paling
penting untuk membuat bahan bakar hidrokarbon adalah sintesa melalui proses Fischer-
Tropsch (F-T). Proses F-T untuk membuat hidrokarbon sintetis dapat digambarkan secara
sederhana dengan dua reaksi katalitik berikut, yang menghasilkan dua molekul
Batubara
Gasifikasi
Pemisahan Udara
Udara
Pemisahan Padatan/Cairan
Pencairan Batubara
Penyiapan Batubara
Recovery Sulfur
Recovery Hidrogen
Instalasi Gas Instalasi Bhn.Bkr. Gas LPG, Butana
Gas Asam
Abu
Hidrotreating Cairan Batubara
Distilat (diesel)
Sampah
Pembersihan
Recycle Solven
Naphta (gasolin)
Ke Refinery
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
527
BATAN
ISSN 1979-1208
hidrokarbon besar dari molekul kecil CO dan H2 yang diproduksi dengan gasifikasi, dan
oksigen dalam umpan CO direject dalam steam, dan reaksinya adalah sebagai berikut :
nCO + 2nH2 ----> nH2O + CnH2n (olefin)
nCO + (2n+1)H2 ----> nH2O + CnH2n+2 (parafin)
Gambar 4. Diagram Alir Proses Pencairan Batubara Tak Langsung[5]
Keterangan :
PSA : Pressure Swing Absorber
ASU : Air Separator Unit
HDI : Hidrocracking isomerisasi
Produk yang dihasilkan tergantung katalis yang digunakan dan kondisi operasi
reaktor kimia. Produk yang kaya olefin dengan n = 5-10 dapat digunakan untuk membuat
gasolin sintetis dan bahan kimia, dengan proses F-T temperatur tinggi. Produk yang kaya
parafin dengan n= 12-19 cocok untuk membuat diesel sintetis dan atau wax, dengan proses
F-T suhu rendah. Namun kualitas diesel dari proses pencairan batubara langsung berbeda
dengan proses tak langsung. Tabel 1 memperlihatkan perbedaan kualitas diesel yang
dihasilkan dari proses langsung dan tak langsung.
Tabel 1. Perbandingan Kualitas Diesel[5]
Batubara
(bituminous/sub-
bituminous
Diesel DCL Diesel ICL Diesel Eropa
% H (% berat)
Spesifik gravity pada 15oC
Cetane number
4,5/5,0
13,5/14
0,820/0,830
50-55
15
0,770-0,780
>65
Sekitar 13,5
0,820
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
528
BATAN
ISSN 1979-1208
keuntungan HTGR. Hingga saat ini terdapat beberapa HTGR yang dimiliki oleh beberapa
negara dengan status dekomisioning maupun sedang dikembangkan. Pembangkit HTGR
pertama yang telah dibangun dan dioperasikan meliputi : Dragon, reaktor riset berdaya 20
MWth di UK, Peach Bottom Unit-1 berdaya 115 MWth di USA dan AVR berdaya 40 MWth di
Jerman. Ketiga reaktor tersebut mulai beroperasi sekitar pertengahan tahun 1960 dan
ketiganya memiliki sejarah pengoperasian yang sangat baik. Pengalaman operasi AVR
dengan berbagai percobaan bahan bakar maupun kondisi pengoperasian telah membawa
kesuksesan dalam mencapai temperatur operasi hingga 990C. Karena itu AVR dapat
dianggap sebagai salah satu tonggak pengembangan reaktor gas temperatur tinggi atau
HTGR. Reaktor Dragon dan Peach Bottom didekomisioning setelah mencapai semua tujuan
yang direncanakan. Sementara itu, reaktor daya yang telah dibangun dan dioperasikan pada
tahun 1970 dan 1980, yaitu : Fort Saint Vrain di Amerika Serikat dan THTR-300 di Jerman.
Kemampuan untuk menghasilkan panas yang tinggi dari reaktor tipe HTGR
menyebabkan reaktor tersebut tidak hanya digunakan untuk produksi listrik, tetapi juga
mempunyai prospek digunakan dalam sektor industri dan transportasi dengan memasok
panas temperatur tinggi yang dihasilkan. Panas tersebut dapat digunakan untuk berbagai
proses industri, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 yaitu untuk produksi hidrogen
dengan metode SMR (Steam Reforming) dan siklus IS (Iodine Sulfur), gasifikasi/ pencairan
batubara, desalinasi dan district heating dan lain-lain dengan cara mengkopling reaktor tipe
HTGR dengan industri. Penggunaan energi nuklir akan mengurangi konsumsi hidrokarbon
sebagai bahan bakar dan akan mengurangi emisi CO2..
Gambar 5. Aplikasi panas proses dari reaktor HTGR[6]
3. PEMBAHASAN Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi
Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini
sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan.
Namun, Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi
Produksi Kaca
Produksi Semen
Produksi Besi
Pembangkit listrik (turbin gas)
Gasifikasi batubara
Hidrogen (proses sulfur-iodine)
Hidrogen (Steam Reforming)
Etilen (naphta, etana)
Gas kota
Petroleum (Refining)
Crude oil desulfurization (sweetening)
Cellulose production (from wood)
Desalination, distant heating
Ultra hightemperature reactor
200C 400C 600C 800C 1000C 1200C 1400C 1600C
850C-1.100C
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
529
BATAN
ISSN 1979-1208
energi listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan karena menghasilkan polutan
CO2, SO2, NOx dan CxHy, cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah.
Batubara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih efisien jika dikonversi menjadi bahan
bakar sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Pada dasarnya
batubara mengandung hanya 5% hidrogen, sementara bahan bakar cair yang dapat
didestilasi seperti petroleum mengandung 14% hidrogen. Dalam rangka untuk membuat
bahan bakar cair seperti petroleum maka defisit hidrogen tersebut harus dipenuhi dengan
dua metode yang berbeda yaitu pencairan batubara secara langsung (DCL) dan tak
langsung (ICL).
Pencairan batubara langsung (Direct Coal Liquefaction = DCL) :
batubara + katalis + hidrogen (H2) hidrokarbon (CxHy), atau
Pencairan batubara tak langsung (Indirect Coal Liquefaction = ICL)
1. gasifikasi : batubara + Oksigen + Steam Syngas (H2 + CO)
2. FT Synthesis: H2 + CO + katalis hidrokarbon (CxHy)
Pencairan batubara dilakukan pada suhu sekitar 470oC dan tekanan sekitar 70MPa,
sintesis FT dilakukan pada suhu sekitar 447-567C dan tekanan 10-13 MPa menggunakan
katalisator besi[7]. Panas yang dibutuhkan dapat dipasok dari panas nuklir. Penyaluran
energi panas dari PLTN (HTGR) ke instalasi pencairan batubara dilakukan dengan alat
penukar panas (IHX) yang merupakan kopling penghubung aliran panas, yaitu dengan
menambahkan daur antara (intermediate loop). Alat penukar panas (IHX) merupakan
komponen utama sistem kopling. Pada komponen ini panas dari helium sirkuit primer
(1000C at 1000psi) ditransfer menuju helium sirkuit sekunder, sehingga helium pada sirkuit
sekunder dapat terpelihara pada kondisi bebas kontaminasi radioaktif. Tekanan pada sistem
pendingin primer harus di desain lebih rendah dari pada tekanan pada sistem pendingin
sekunder. IHX diletakkan dalam pengungkung reaktor (reactor containment). Fluida
sekunder yang keluar dari IHX dan bebas kontaminasi radioaktif dapat digunakan sebagai
sumber panas yang dapat diaplikasikan sebagai panas proses untuk industri. Efisiensi
teoritis (theoritical efficiency) untuk pencairan batubara langsung adalah sekitar 7075% dan
60-65% untuk pencairan batubara tak langsung. Karena itu pencairan langsung
menghasilkan jumlah bahan bakar cair yang lebih besar per ton batubara dibanding
pencairan tak langsung.
Kedua teknologi pencairan batubara tersebut membutuhkan gas hidrogen yang dapat
diperoleh dari gasifikasi batubara atau dari proses steam reforming gas alam. Karena itu,
pencairan batubara sangat sesuai apabila dilakukan di propinsi Kalimantan Timur
mengingat di propinsi tersebut banyak tersedia batubara dan gas alam yang merupakan
bahan baku dan bahan untuk produksi hidrogen melalui proses steam reforming. Ditinjau
dari teknologi proses, pencairan batubara tak langsung dapat menghasilkan varietas produk
yang lebih banyak, seperti : metanol dan dimethyl eter, dibanding pencairan batubara
langsung. Sedangkan, ditinjau dari produk yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2, kedua teknologi tersebut menghasilkan produk dengan kualitas yang berbeda.
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
530
BATAN
ISSN 1979-1208
Tabel 2. Sifat-sifat produk dari pencairan batubara langsung (DCL) dan tak langsung
(ICL)[8]
DCL ICL
Produk campuran dpt didestilasi 65% diesel, 35% naphta 89% diesel, 20% naphta
Angka cetane diesel 42-47 70 - 75
Kandungan sulfur diesel
-
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010 Pusat Pengembangan Energi Nuklir
Badan Tenaga Nuklir Nasional
531
BATAN
ISSN 1979-1208
Kalimantan, The 1st International Trade Exhibition on Coal Mining Technology &
Equipment, Jakarta, 24-27 May 2006.
[2]. Http://www.npc.org/study_topic_papers/18-TTG-Coals-to-Liquid.pdf.
[3]. ROBERT H. WILIIAM AND ERIC D. LARSON, A Comparison of Direct and Indirect
Liquefaction Technologies for Making Fluid Fuels from Coal, Energy for Sustainable
Development, volume VII No.4, December 2003.
[4]. JOHN WINSLOW AND ED SCHMETZ, Direct Coal Liquefaction Overview Presented
to NETL Leonardo Technologies, Inc, US. Department of Energy, March 23, 2009.
[5]. PIERRE MARION, The Current Status of Coal Liquefaction Technologies, Innovation
Energy Environment, France Final draft submitted in December 2007.
[6]. Http://www.cea.fr/var/cea/storage/static/gb.library/..../p.123_126_Lecomte.pdf.
[7]. ZHENYU LIU, Clean Coal Technology: Direct and Indirect Coal-to-Liquid
Technologies, institute of Coal Chemistry, Chinese Academy of Science, 2005
[8]. Http://dx.doi.org/10.1002/er.1596
DISKUSI 1. Pertanyan dari Sdr. Endiah Puji Hastuti (PTRKN-BATAN)
1. Sejauh mana proses/program pencairan batubara telah dilakukan di Indonesia?
2. Dengan proses langsung berapa % efisiensinya mengingat kebutuhan bahan bakar
untuk pencairan cukup besar
Jawaban :
1. Hingga saat ini program pencairan batubara sudah ada, dan masih dalam taraf riset.
2. Efisiensi teoritis untuk pencairan langsung adalah 70-75% dan pencairan tak
langsung 60-65%.
2. Pertanyan dari Sdr. Sri Nitiswati (PTRKN-BATAN)
Apa saja keuntungan yang diharapkan dari proses pencairan menggunakan panas
nuklir?
Jawaban
Keuntungan yang diharapkan adalah lebih ekonomis, dan bersih lingkungan. Karena,
dalam pencairan batubara tersebut dilakukan dengan memanfaatkan panas sisa PLTN.
Bila dibandingkan dengan pencairan batubara biasa yang menggunakan bahan bakar
fosil, maka penggunaan batubara sebagai bahan bakar bisa digantikan dengan panas
nuklir. Jadi, selain dapat menghemat cadangan batubara, juga mengurangi dapat polusi
yang dihasilkan dari pembakaran batubara.